Tak ada kata yang mampu menyiratkan segala kecamuk, bahkan untuk pemilik pikiran itu sendiri.
Berjuta-juta sel yang menyusunnya pun, tak mampu menerjamahkan, apa sebenarnya maksud yang ingin disampaikan.
Barangkali, itulah yang menjadikan setiap insan itu khas, berbeda satu sama lain.
Bak bawang merah, manusia terdiri dari lapisan-lapisan misteri.
Saat kita yakin sudah mencoba mengupas sedikit lapisan-lapisan tersebut, masih akan tersisa begitu banyak lapisan-lapisan lain.
Akan ada hal baru, lagi, dan lagi.
Seperti halnya saat kita mencoba benar-benar memahami sesorang, dengan waktu kita yang terbatas di dunia ini, tak akan pernah cukup untuk bisa benar-benar menafsirkan semua rasa, gelora, dan nestapa yang berada pada dirinya.
Mungkin, memang bukan tugas kita untuk memahami setiap maksud yang ada pada setiap insan, di setiap tindakan, di setiap kejadian, pada saat itu juga.
Dalam setiap lapisan, tersimpan rahasia luka, suka, dan duka.
Setiap luka yang pernah mencabik hati, tak ubahnya sebuah sayatan kecil yang meninggalkan luka pada jiwa yang lembut itu.
Namun, dari luka itu pulalah, kita dapat belajar berdamai, belajar menanggung perih, belajar makna resiliensi.
Tuhan, izinkan aku tetap terbang,
meski dengan luka,
meski dengan kelemahan,
meski dengan sayap yang patah