Jumat, Agustus 25, 2017
Jujur dengan Perasaan?
Ku ingin tahu betapa manisnya dirimu jika kulihat di balik pintu? Lho, mengapa di balik pintu?
Karena aku takut terlihat olehmu. Terlihat jelas bahwa perasaan ini akan langsung terdeteksi oleh sinyal milikmu.
Segala sesuatu memang datang dan pergi. Namun, bolehkah dimaklumi jika secepat ini?
Waktu itu, aku merasa kau lah yang kudamba. Hingga suatu saat. Aku merasa kagum dengan yang lainnya.
Aku dapat jujur dengan perasaanku. Namun ku tak dapat jujur untuk mengucapkan yang sebenarnya aku rasakan. Entah itu kepada pohon, batu, kertas, apalagi kepada manusia.
Isi hati ini terlalu rumit. Mungkin karena aku terlalu memosisikan diriku sebagai pihak yang netral.
Aku merasa malu kepada teman yang berkata padaku, "Aku kagum dengan dirimu yang melihat segala sesuatu dari segi positifnya"
Bukan, bukan aku tidak suka dengan diriku. Akan tetapi, aku malu dengannya yang telah berkata seperti itu. Aku malah seringkali mudah menilai orang. Namun, aku hanya dapat segera mengontrol diriku yang berpikiran seperti itu. Aku langusng bertengkar dengan alam pikirku bahwa segala sesuatu yang dilakukan nampaknya beralasan. Lalu kucoba untuk mengerti.
Namun, samakah itu jika kita mengagumi orang lain? Apakah selalu ada alasan? Apakah jika beralasan kekaguman itu akan menyurut? Apakah jika tidak memiliki alasan jelas, kekaguman kita tidak valid?
Nampaknya, percabangan pikiran yang ada di otak terus menerus mengalir. Menjadikan pikiran tidak segera berujung, namun masih menimbulkan pertanyaan yang lain.
Maafkan aku, yang berkata pada perasaanku bahwa aku pernah kagum denganmu. Maafkan aku, yang sekarang juga kagum dengan yang lain.
Hingga suatu hari tiba, sebuah penantian pasti akan berujung. Aku percaya itu. Aku kagum pada yang lain, bukan berarti cintaku akan hilang kepada orang yang telah ditakdirkan untukku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
A word from you is a gift for me...