Rasa itu ada karena sebuah aksi dari pikiran. Rasa ada karena pikiran kita menunjukkan suatu hal yang membuatnya semakin mencuat keluar. Tapi sekali lagi, rasa bisa diredam dengan pikiran itu sendiri.
Seperti hati yang memilih untuk membiarkan perasaan itu ada, hanya sekedar lewat atau membiarkannya berlalu. Atau bahkan memilih rasa itu ada tapi seolah- olah tidak ada dengan cara menyembunyikannya?
Ku pernah merasakan bahwa membiarkan rasa ada dan hanya berpaling. Rasa itu juga pernah ada dan ku masih sering mempertanyakan kehadirannya secara tiba- tiba. Ku juga pernah membuat rasa itu ada dan singgah, namun saat kubiarkan orang lain tahu tentang perasaan itu, jantungku berdesir keras.
Banyak hal yg selanjutnya aku pikirkan jika rasa itu hanya bersifat sementara dan orang lain belum sempat tahu bahwa rasa itu berpaling pada orang lain. Namun, ada hal lain ketika ku memberitakan rasa itu pada teman, yaitu bahwa ternyata tidak selamanya pikiran kita benar tentang apa yang dirasakan. Pengalaman mereka lah yang menjadikan kita tahu sebenarnya rasa yang kita rasa saat itu apa. Bahkan, kesedihan yang ditimbulkan dari rasa itu sedikit terobati dengan pendapat- pendapat mereka.
Dan, belum berakhir mengenai rasa itu. Karena menurutku hal tersebut sangatlah misterius. Meskipun ku sudah menemukan bukti bahwa rasa juga memiliki alur yang dapat terbaca. Bahwa ada rule dari sananya tentang rasa bagi seorang teman, seorang yang baru saja datang, seorang dari masa lalu, seorang keluarga dan berbeda antara perasaan wanita dan laki- laki.
Aku tahu bahwa ku sebenarnya tidak semudah itu dapat membuang dan mengambil perasan itu sekejap. Kadang rasa yang telah dipendam dalam-dalam ternyata dapat kembali muncul di depan, tidak sempat mengetuk pintu. Hanya kesedihan yang ada, namun tak jarang juga ada tapi tak dianggap ada karena rasa tersebut belum mencapai ambang normal.
Ku adalah orang yang mudah berpura- pura tentang perasaan. Internal ku masih memiliki proporsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan external ku.
Bahkan, di depan seseorang yg ku taruh rasa yang lebih dari yang lain. Ku sangat pandai memainkannya. Membiarkan hanya diri ini yang tahu bahwa keinginan untuk selalu bersamanya hanya sampai di tenggorokan. Tidak bisa dilepaskan di ujung bibir. Bahkan, aku lebih memilih untuk merelakan jika saat orang lain lebih membutuhkan, maka aku memilih orang itu pergi untuk orang lain yang sedang membutuhkannya.
Aku tahu rasa ini tidak penting, tapi rasa itu berbahaya. "Jangan main- main dengan rasa", itu kata seorang guru.
Entah sampai kapan aku mampu menyembunyikan segala yang kurasa. Atau hanya aku saja yang tahu bahwa kusudah menyembunyikannya dengan benar? Memendamnya dengan benar? Atau alam bawah sadar membantuku mengungkapkannya? Sehingga raut wajah dan mataku seakan membantuku menyuarakannya?