Meski tanpa berpikir panjang, ceritaku karut-marut tak karuan. Sempat ku berusaha untuk merapikan dan menata ulang yang perlu ditata. Ah, tapi keadaan tetap saja seperti itu. Tidak membiarkan ruang diamku kembali bergeming.
Senyap.
Seperti mode hapeku saja.
Aku bahkan tidak berani menghubunginya. Meski saat ini terbilang sudah seminggu aku tak mencoba mencari kabar. Gusar tanpa arti yang selama ini berkabut di otak, tidak benar-benar aku tanggapi. Karena beban kerjaan sudah membuat aku tak sempat lagi merangkai kata itu.
Sepertinya aku perlu suatu wangi-wangian agar kamarku yang sempit ini menjadi lebih hidup. Yah, sekedar melepas penat saja sih sebenarnya. Toh, dari pagi sampai malam aku harus kerja rodi di pabrik itu. Tapi, setelah sekian tahun aku bekerja, tidak ada yang bisa aku dapat. Selain hanya ocehan para petinggi yang hanya berceramah tidak karuan itu.
Nasih, ya nasib.
Sebagai buruh, tidak besar keinginanku. Pulang kampung bawa sejumlah uang beserta sembako pun itu sudah sangat muluk-muluk. Boro-boro mau nikah besar-besaran, yang ada pasti kaya si Fulan, hidupnya hanya untuk membayar tagihan. Yah, begitulah, aku juga tidak memikirkan itu kali ini, makanya juga aku masih malas menghubunginya. Biarlah saja seperti ini dulu.
Mungkin, aku masih beruntung, meski hidup pas-pasan aku tidak punya banyak tagihan hutang, kecuali kamar kosan ini saja. Coba saja Dewan rapatnya lebih pagian lagi. Jangan jam 12 malam gitu. Aku kan jadi tidak sempat nyusul mereka.. buat sekedar kasih sedekah kopi, agar setidaknya yaa mereka dapat lebih lama lagi membahas omong kosong, eh maksudnya membahas masa depan rakyat. Katanya sih.
Aku yang tak paham isinya undang-undang, duh apalagi ratusan halaman itu. Yah, setidaknya aku masih berpikir dengan akal sehatku. Kalau hidup sebagai pelayan, ya melayani rakyat. Sebenarnya aku kerja atau dikerjai sih?