Rabu, Juli 25, 2018
Juli 25, 2018
BY feni0
Comments
Rembulan mungkin sekarang sedang menampakkan senyumnya. Ia seakan terus mengajakku tertawa. Berdansa di malam hari, ditemani terpaan angin yang mendayu-dayu. Inginku sedikit mengernyitkan dahi karena terus-menerus dibuatnya bingung. Tindakan yang kulakukan selalu saja kupikirkan matang-matang sebelumnya. Tapi, apa daya. Diriku hanya bisa menyalahkan apa yang aku kerjakan, meski itu sudah puluhan kali aku memendamnya baru ku mengungkapkannya. Hanya sebuah sapaan kepada rembulan, sepertinya tengah menjadi seperti pertimbangan yang berat, kutakut akan membuat rembulan sendu.
Rembulan juga sedikit saja berterimakasih padaku. Aku tahu bahwa dengan mulutku yang membisu, tapi aku setia menunggu. Di depan rumah, ku ambil sebuah kursi menunggunya untuk datang tiap malam.
Meski sepi, dan banyak cahaya lain yang hendak menerangi. Rembulan selalu memiliki posisi yang baik di sanubari. Ia mungkin tidak pandai memikat, tapi entah mengapa ia memiliki kekuatan untuk membuat irama tubuhku mengalir kencang.
Tapi, rembulan. Sepertinya engkau tidak menginginkan apa yang aku inginkan. Engkau mengerti bahwa ada alasan mengapa aku selalu menunggumu.
Hanya rindu yang bisa kumiliki. Karena dengan itu, aku mengharapkan sosokmu untuk datang di malam-malam penantianku. Menanti dirimu.
Sebuah pesan yang aku tahu, rembulan bukan makhluk sempurna. Ia pasti terkadang tidak mengerti bagaimana dirinya bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Mungkin saja ia malu, untuk menemaniku. Karena ia takut hatinya gusar saat nanti terpisah denganku setelah sepanjang malam bercengkerama denganku. Ada hati di sana yang ia pertaruhkan untuk itu. Hatinya, dan hatiku.
Tapi, bisa jadi rembulan tidak memihakku. Karena di luar sana banyak manusia lain sepertiku yang selalu mengharapkan kehadirannya di malam hari. Ingin segera merasakan indahnya bintang ditemani oleh rembulan.
Rembulan, jika hal pertama yang engkau pikirkan. Maka, tidak usah lagi engkau gusar memikirkan hal itu. Aku ialah seorang yang mampu bertahan saat dirimu tidak ada. Aku mungkin akan bercengkerama dengan makhluk lain, untuk sekedar berbagi kerinduan atau bekerja bersamanya, menorehkan manfaat yang banyak bagi mereka.
Rembulan, jika yang terjadi adalah hal yang kedua. Maka, sepertinya aku akan sedikit terluka, tetapi tenang saja. Senyummu yang selalu kunanti akan setia menemani hari-hariku nanti. Rindu itu yang akan menjadi penawar bahwa aku sebenarnya tidak akan sanggup jika jauh darimu.
Senin, Juli 02, 2018
Juli 02, 2018
BY feni0
Comments
Membawa kue lebaran, ternyata dapat menyenangkan hati ibu.
Beberapa tahun lalu, pada hari itu, merupakan hari saat aku harus kembali lagi ke tempat perantauan untuk melanjutkan menimba ilmu. Saat itu, merupakan suasana mudik lebaran. Banyak kue lebaran yang ada di rumah. Alhamdulillah. Selain kue, ada juga makanan tradisional yang dibuat sendiri oleh ibu atau oleh nenek.
Pernah suatu kali aku menolak untuk membawa bekal kue lebaran yang diberikan oleh ibuku. Alasannya mungkin bisa diterima, karena keberatan membawanya. Alhasil, hanya beberapa saja yang aku bawa. Sisanya yang sudah dipersiapkan oleh ibuku tidak kubawa. Setelah sampai ke tempat perantauan, barulah aku menyadari bahwa rasa rindu itu datang seketika. Langsung saja aku teringat dengan kue-kue lebaran yang aku tinggalkan, tidak jadi aku bawa. Kuingat juga sedikit raut kesedihan yang menghiasi wajah ibuku di waktu itu.
Pernah suatu kali aku menolak untuk membawa bekal kue lebaran yang diberikan oleh ibuku. Alasannya mungkin bisa diterima, karena keberatan membawanya. Alhasil, hanya beberapa saja yang aku bawa. Sisanya yang sudah dipersiapkan oleh ibuku tidak kubawa. Setelah sampai ke tempat perantauan, barulah aku menyadari bahwa rasa rindu itu datang seketika. Langsung saja aku teringat dengan kue-kue lebaran yang aku tinggalkan, tidak jadi aku bawa. Kuingat juga sedikit raut kesedihan yang menghiasi wajah ibuku di waktu itu.
Sederhana memang, hanya sebuah kue lebaran. Namun, hal sederhana inilah yang selanjutnya mengajariku bahwa, kebahagiaan untuk orang tua bisa dimulai dari menghargai apa yang telah mereka persiapkan. Sejak saat itu, aku mulai memperbaiki. Saat beberapa kali pulang untuk mudik ke kampung, hanya sedikit barang saja yang aku bawa ke rumah. Sisanya untuk mengisi penuh koper atau tas dengan kue lebaran yang disisakan oleh ibuku.
Akhirnya sejak saat itu, aku selalu membawa kue lebaran dari rumah untuk dibawa ke tempat perantauan. Walaupun berat, saat harus naik kereta dan pindah lagi ke KRL, namun ritual rutin tersebut membuatku bahagia. Ternyata dari kue lebaran tersebut aku belajar bahwa setiap saat, walaupun saat kita lupa dengan keluarga yang ada di rumah, mereka orang tua kita atau keluarga kita selalu memikirkan kita. Menghkawatirkan kita, khawatir jikalau di sana kita tiba-tiba merasa kelaparan tetapi tidak ada uang untuk membeli makan.
Lebaran ini aku pun juga kaget, tiba-tiba aku melihat ibu membawakanku sambal kacang. Padahal aku tidak pernah melihat beliau membuatnya. Sama halnya dengan nenek, tiba-tiba aku melihatnya membawakanku keripik pisang hasil olahannya sendiri. Pisangnya pun hasil panen dari sawah, dipetik oleh bapak. Begitu mengharukan. Seakan Allah menunjukkan kita walaupun di tanah rantau yang penuh dengan perjuangan, namun ada juga rasa senang dengan nikmat lain. Nikmat mendapatkan teman-teman baru, mendapatkan pengalaman baru, mendapatkan hal-hal yang tidak didapat saat tidak melakukan perantauan.
Jadi, bukankah kue lebaran bukan sekedar membuat kita lebar-an?
Jadi, bukankah kue lebaran bukan sekedar membuat kita lebar-an?