Selamat hari ayah, Pak'e - heartkokok

Senin, Juni 22, 2020

Selamat hari ayah, Pak'e

Untuk ayahku, bapakku, Pak'e

Setiap hari engkau selalu sibuk 
Kuamati punggung mu yang semakin membungkuk
Siangpun engkau rela tidur di gubuk
Melawan beban hidup yang makin terpuruk


Awal masuk IPB (2015)

Sewaktu di rumah. Tidak seperti biasanya saat di kosan. Saat dulu masih SMA atau saat sedang berada di kosan. Beban berada di rumah terasa lebih berat. Dari rumah yang sederhana ini ternyata keluargaku seperti ini. 

Meski sederhana, tapi aku seakan merasakan kehangatan yang tidak terucap. Bapakku, tidak termasuk orang yang banyak bicara. Setiap pagi, beliau bangun lalu pagi bergegas ke sawah, subuh segera ke pasar jika ada sayur yang harus disetor ke pedagang. Siang hari istirahat pulang. Lalu sore pulang lagi ke rumah. Dan habis isya sudah tidur. Terkadang tidur larut malam jika ada wayang atau tontonan yang ia suka. Saat di rumah tidak ada, ya carilah di sawah. 

Terkadang dibuatnya sendiri ramuan dari tumbuh-tumbuhan herbal. Katanya sebagai obat yang manjur. Bisa untuk penghilang pegal, penghilang sakit. 

Terkadang beliau hanya butuh waktu untuk sekedar melepas penat. Mengeluarkan semua beban pikiran, yang lebih ia tonjolkan pada beban fisik yang yang diangkutnya. Berkeluh bahwa terasa sakit di punggungnya. 

Terkadang lucu. Aku pun geli mengingatnya. Saat-saat beliau harus menghadiri rapat atau menghadiri wisudaku. Bahkan di saat aku sakit. Pergi dari desa yang terletak di Ungaran ke Jogja (waktu rapat saat SMA) dan ke Bogor tentu sesuatu yang luar biasa baginya. Sehari-hari hanya sawah yang yang dijamahnya. Saat diberi bekal dan sebuah hape, bermodalkan keyakinan untuk ketemu anaknya. Sampailah beliau ke tempat yang ditujunya. 

Terkadang, aku khawatir karena beliau tak bisa mengoperasikan hape. Ditelpon pun ga diangkat. Apalagi di sms? Jika sedang di bus, bahkan aku tidak tahu sampai mana. Sudah turunkah ? Tahu angkot apakah? Tahu lokasi SMA ku kah? Tahu Dramaga manakah? 

Namun pada akhirnya, keyakinan dan tekadlah yang membantu menuntunnya. Hingga beliau dua kali datang di wisudaku. Pertama saat SMA di Bogor. Kedua saat wisuda sarjana di Dramaga. Dan aku berharap untuk ketiganya nanti saat sumpah. 

Tekadnya sama seperti saat beliau harus terus bertaruh di lapang, dan terus memikirkan "Apakah lebih baik menanam padi? Apakah lebih baik cabai? Atau mungkin mentimun saja? Sepertinya banyak yang mencari terong dan bayam?" Dan akhirnya pun beliau memilih untuk menanam semuanya, walau sedikit. Tentu bukan perkara mudah, untuk seorang pria lulusan SD tersebut. Ditambahlagi harus menyetor uang hasil panen ke pemilik sawah. Berbekal pengalaman dan kegigihannya serta kebutuhan yang yang  mendesak membuatnya mau tidak mau harus melakukannya dengan baik. 

Namun di kondisi itu, beliau masih tetap mengajarkanku kebaikan tanpa sekat. Saat panen, beliau menjual sayur-sayuran atau hasil a panen apapun. Tapi tak pernah absen untuk sekedar memberi tetangga sedikit hasil buminya. Kadang depan rumahku sangat ramai tetangga, entah ngobrol dengan kakak ipar, kakakku, atau nenek-nenekku, atau sekedar duduk di kursi depan rumah. Di situlah biasanya 'godokan telo' disuguhkan. Kadang kalau ada kimpol (mirip talas) tapi kecil, irisan you pepaya, goreng pisang, goreng ubi tak lupa diberikan. Saat memetik cabai, terong, timun tak lupa juga disisihkan untuk saudara dekat. Begitulah, tanpa ucap kata, perbuatan kecilnya itu ia ajarkan kepada anak-anak, anak mantu dan cucunya.  

Aku yang di sana, aku yang di sini. Tetap meminta dan mengharap uang saku dari kantong yang kering itu. "Pak, sangune".

Meski tidak cukup, ternyata bala bantuan dari saudara kandungku dan bantuan pemerintah membantuku sampai aku bisa saja tetap hidup berkecukupan selama ini di tanah rantau. Seperti tadi, keyakinan dan tekad cukup menjadi bekal utamaku. 

Selamat hari ayah, Pae. 


*Pas nulis ini lagu di radio pas banget, lagu dari Ebiet G Ade: Titip Rindu Buat Ayah

2 komentar:

A word from you is a gift for me...

@way2themes