Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang pantai nampak jelas
Lagi-lagi, sangat sulit untuk melihat kesalahan diri sendiri. Sebagai akibatnya, kadang gemar menemukan kesalahan orang lain, namun tidak sadar kesalahan yang sering dilakukan.
Sangat benar sekali.
Dahulu kala, Si Rubah mencari ilmu di negeri seberang. Waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Hanya saat liburan saja, ia sempat pulang barang sebentar.
Kalender selalu dilihatnya, menjelang hari kepulangan. Tanda silang ia sematkan sebagai tanda mendekati tanggal yang telah ia lingkari. Semakin lama tanda silang tersebut menjadi semakin dekat. Pertanda kepulangannya ke tempat kelahiran pun semakin dekat.
Ia sangat gembira. Hari-harinya selalu ia lewat dengan penuh semangat, terlebih menjelang hari itu tiba. Berbagai tempat ia singgahi bersama kawannya, yang sebentar lagi akan berpisah sepanjang liburan.
Hari itu tiba. Semua barang telah dikemas. Tampaknya hanya beberapa lembar pakaian serta sedikit oleh-oleh, jika ada yang perlu dibawanya. Tiket sudah ditangan, waktunya bersiap menuju stasiun.
Rasa senang menghirup bau tanah kelahiran terlihat dari raut wajahnya. Perjumpaannya dengan sanak saudara serta ketentraman desa yang akan ia dapat menjadi bara semangat tersendiri.
Nampaknya, kesenangannya hanya sekejap. Selanjutnya ia lupa dengan sesuatu yang dihadapnya. Bangga benar ia nampak asyik berbincang dengan jari-jarinya, sedang asyik berkabar dengan mereka yang jauh di sana. Sesekali melihat para selebriti dengan gaya hidupnya. Seseringkali melihat aktivitas temannya yang ia tak dapati di rumah.
Detik berganti menit, menit berganti jam, hari berganti minggu. Tak terasa Si Rubah telah menghabiskan waktu liburnya. Tersisa beberapa jam menjelang waktu kepergiannya kembali ke tanah rantau.
Ia menjadi panik. Seakan waktu telah memakan habis dirinya. Tak sempat ia bersenda gurau dengan kakek neneknya. Bermain-main dengan saudara-saudaranya. Tak gunakan waktupun untuk sekedar membuatkan kopi ayahnya.
Namun, ia kalah. Waktu telah memberangusnya. Mengembalikan ia menyeberangi ke negeri sana. Membawanya kembali jauh dari rumah.
Liburan demi liburan terlewat dengan sendirinya. Ia selalu ingin menjadi lebih baik, namun tekadnya selalu kalah oleh waktu. Ia pun kembali termakan oleh waktu.
Pulang tercampur aduk oleh pergi. Pulang terasa seperti pergi. Pergi serasa seperti pulang.
Suatu ketika, waktu memberikannya kesempatan yang lebih baik. Waktu masih kenyang. Waktu memberikannya harapan.
Ia pun menjadi lebih tersadar. Bahwa bukanlah waktu yang memakannya. Ia sendirilah yang menceburkan diri kepada waktu. Ia lupa oleh waktu.
Meski berjalan lebih lambat, ia berusaha berkompromi dengan waktu. Ia sedikit demi sedikit menjadi mawas dengan sekitar. Menjadi lebih dekat dengan keluarganya. Keluarga yang selalu menerima. Keluarga yang sempurna dengan ketidaksempurnaannya.
Ia pun bersyukur, kepahitan yang diterimanya menjadi kesempatan yang baik untuk menebus kesalahannya.
Sekarang terdengar tawanya bersama kakek neneknya. Terdengar gaduhnya bersama saudara-saudarnya. Terdengar harum kopi dan pisang goreng bersama ayah ibunya.
Kini, ia berusaha memeluk waktu. Terlihat berjalan lambat namun terus bergerak maju sesuai kemampuannya.
Kini, ia berdamai dengan waktu.