Oktober 2021 - heartkokok

Senin, Oktober 25, 2021

Kini ia Berdamai dengan Waktu
Oktober 25, 20210 Comments
Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, semut di seberang pantai nampak jelas


Lagi-lagi, sangat sulit untuk melihat kesalahan diri sendiri. Sebagai akibatnya, kadang gemar menemukan kesalahan orang lain, namun tidak sadar kesalahan yang sering dilakukan. 


Sangat benar sekali. 


Dahulu kala, Si Rubah mencari ilmu di negeri seberang. Waktu bersama keluarga menjadi  berkurang. Hanya saat liburan saja, ia sempat pulang barang sebentar. 


Kalender selalu dilihatnya, menjelang hari kepulangan. Tanda silang ia sematkan sebagai tanda mendekati tanggal yang telah ia lingkari. Semakin lama tanda silang tersebut menjadi semakin dekat. Pertanda kepulangannya ke tempat kelahiran pun semakin dekat. 


Ia sangat gembira. Hari-harinya selalu ia lewat dengan penuh semangat, terlebih menjelang hari itu tiba. Berbagai tempat ia singgahi bersama kawannya, yang sebentar lagi akan berpisah sepanjang liburan. 


Hari itu tiba. Semua barang telah dikemas. Tampaknya hanya beberapa lembar pakaian serta sedikit oleh-oleh, jika ada yang perlu dibawanya. Tiket sudah ditangan, waktunya bersiap menuju stasiun. 


Rasa senang menghirup bau tanah kelahiran terlihat dari raut wajahnya. Perjumpaannya dengan sanak saudara serta ketentraman desa yang akan ia dapat menjadi bara semangat tersendiri. 

Nampaknya, kesenangannya hanya sekejap. Selanjutnya ia lupa dengan sesuatu yang dihadapnya. Bangga benar ia nampak asyik berbincang dengan jari-jarinya, sedang asyik berkabar dengan mereka yang jauh di sana. Sesekali melihat para selebriti dengan gaya hidupnya. Seseringkali melihat aktivitas temannya yang ia tak dapati di rumah. 

Detik berganti menit, menit berganti jam, hari berganti minggu. Tak terasa Si Rubah telah menghabiskan waktu liburnya. Tersisa beberapa jam menjelang waktu kepergiannya kembali ke tanah rantau. 


Ia menjadi panik. Seakan waktu telah memakan habis dirinya. Tak sempat ia bersenda gurau dengan kakek neneknya. Bermain-main dengan saudara-saudaranya. Tak gunakan waktupun untuk sekedar membuatkan kopi ayahnya. 


Namun, ia kalah. Waktu telah memberangusnya. Mengembalikan ia menyeberangi ke negeri sana. Membawanya kembali jauh dari rumah. 



Liburan demi liburan terlewat dengan sendirinya. Ia selalu ingin menjadi lebih baik, namun tekadnya selalu kalah oleh waktu. Ia pun kembali termakan oleh waktu. 

Pulang tercampur aduk oleh pergi. Pulang terasa seperti pergi. Pergi serasa seperti pulang. 


Suatu ketika, waktu memberikannya kesempatan yang lebih baik. Waktu masih kenyang. Waktu memberikannya harapan. 


Ia pun menjadi lebih tersadar. Bahwa bukanlah waktu yang memakannya. Ia sendirilah yang menceburkan diri kepada waktu. Ia lupa oleh waktu. 


Meski berjalan lebih lambat, ia berusaha berkompromi dengan waktu. Ia sedikit demi sedikit menjadi mawas dengan sekitar. Menjadi lebih dekat dengan keluarganya. Keluarga yang selalu menerima. Keluarga yang sempurna dengan ketidaksempurnaannya. 


Ia pun bersyukur, kepahitan yang diterimanya menjadi kesempatan yang baik untuk menebus kesalahannya. 


Sekarang terdengar tawanya bersama kakek neneknya. Terdengar gaduhnya bersama saudara-saudarnya. Terdengar harum kopi dan pisang goreng bersama ayah ibunya. 


Kini, ia berusaha memeluk waktu. Terlihat berjalan lambat namun terus bergerak maju sesuai kemampuannya. 


Kini, ia berdamai dengan waktu. 







Reading Time:
Berfilosofi
Oktober 25, 20210 Comments
Mengumbar manisnya janji palsu, merangkai berbagai kata, yang indah tiada tara.. 
Janji.. janji.. janji lagi. Mungkin kamu menjadi salah satu orang yang sering termakan janji palsu? Atau obralan janji manis wakil rakyat? 

Duh.. duh duh.. bikin diabetes saja deh!  Hi..hi..hi


Permainan kata saat berfilosofi dengan diri sendiri, mungkin bisa lebih manis dari itu. Ya, kan ada benarnya, minimal untuk kedamaian pikiran kita saat itu, meski terkadang banyak salahnya sih. 

Berfilosofi mungkin sebagian besar dianggap sebagai rangkaian kata berkepanjangan yang tiada habisnya. Ruwet, mbulet, seperti benang kusut. 

Awalnya aku belum menyadari, kata-kata yang tiba-tiba saja muncul dalam benak, terus mengalir bagaikan air. Tak terhenti hingga pada suatu titik yang memuaskan hati. 

Benar adanya bahwa, kata-kata manis tak ubahnya wacana, jika tidak diwujudkan. 






Bagi orang yang notabennya gemar berpikir, hal tersebut sangatlah wajar. Mengumbar kata-kata lewat tulisan, yang mungkin tidak dimengerti oleh sebagian orang. Bahkan hanya dimengerti oleh diri sendiri. 

Namun, pikiran yang semrawut perlu dibantu untuk dirapikan. Baik dan buruknya tergantung olahan kata yang dipergunakan. Membaca menjadi suatu alat untuk mengasah kepiawaian penggunakan diksi yang tepat. Lebih lanjut, beragam kisah dan makna yang tersurat dan tersirat menjadi bahan bakar untuk perdebatan dengan kata-kata yang terpendam itu. Berharap, makin hari menjadi makin bijak. 

Mencari kesimpulan saat berfilosofi rupanya sulit. Semakin digali, semakin dalam. 

Perlu adanya tanda henti untuk memaksa pikiran itu tidak bertambah liar, meski sebelumnya perlu ditambahi tanda koma. Seperti adanya pengingat, bahwa di dunia ini ada sebuah misteri yang dimiliki dan diatur oleh Sang Maha Pengatur. 

Bagiku, mengisi kertas putih dengan tinta hitam tetaplah penting. Sebagai pelepas penat, sebagai pelipur lara, sebagai media penyalur kata-kata yang tidak terbendung. 

Semoga menjadi bijak bestari.. bukan malah menyombongkan diri. 



Reading Time:

Sabtu, Oktober 09, 2021

Apakah Gapapa Menjadi Biasa Saja?
Oktober 09, 20210 Comments

Menjadi bermanfaat tanpa harus menjadi terkenal, bisa gak sih?


Mungkin ada banyak orang yang tertarik untuk menjalani kehidupan penuh dengan pengikut atau follower di media sosial. Karena dirasa orang yang memiliki banyak pengikut dapat dengan mudah menjadi orang yang berpengaruh. Menjadi orang yang dikenal sebagai influencer. Sehingga mudah sekali untuk dikenal oleh banyak orang, diikuti gaya hidupnya, gaya berpaikannya, gaya perawatan tubuhnya, dan banyak hal lain yang mungkin lebih privat, seperti pula gayanya dalam beragama, err meski sih dalam beragama tidak nampak ya dari luar. 


Namun, aku pikir tidak perlu ya semua orang menjadi seperti itu. Nanti, kalau semua orang terkenal siapa dong yang nonton hehe. 

Menjadi generasi yang melewati masa perkembangan zaman, yang merasakan perkembangan teknologi begitu cepat, yaa memang harus diakui sih kalau media sosial memberi pengaruh yang signifikan bagi kehidupan. Kita pun dapat memanfaatkan media sosial sebagai hal yang bermanfaat bagi hobi, usaha, ataupun pendidikan. 

Dan menjadi manusia, seringkali dihampiri pikiran untuk menjadi manusia yang bermanfaat. Ya kan begitu?




Dan disadari pula, ada beberapa celah yang masih bisa digunakan oleh siapa saja yang masih ingin menjadi bermanfaat tanpa harus menjadi terkenal. 


Teruslah berbuat baik, karena siapa tahu kebaikan itu bisa menjadi salah satu cahaya di kehidupan kita. 


Selalu saja ada jalan untuk memberikan kontribusi bagi masyarakat. Bantuan tersebut bisa kita sesuaikan dengan kemampuan. Karena bantuan sekecil apapun itu, aku yakin akan berarti jika melakukannya dengan tulus. 


Banyak artis terkenal yang juga melakukan kegiatan amal secara tertutup, dalam artian tidak diumbar-umbar. Meski publik tidak tahu, dan mereka tidak ingin juga, tetap melakukan kebaikan. Wah, jadi bisa juga ya bantuan kecil itu bisa tetap kita lakukan. 


Banyak juga para aktivis lingkungan, para pengajar, memberikan dedikasinya yang tinggi terhadap apa yang dilakukannya. Meski telah berkali-kali dilupakan, telah berkali-kali ditendang, tetap tidak patah semangat. 


Meski saat ini, wahai diri, bahkan saat tidak memiliki apapun, tetap berbuat kebaikan. Lihatlah sekitar, tidak usah terlalu jauh. Mungkin tenaga kita diperlukan untuk membantu mengajari beberapa anak tetangga dalam pelajaran, mungkin butuh bantuanmu dalam meminjamkan buku, mungkin perlu didengarkan. 

Kebaikan itu ada dimana-mana. Banyak orang baik, tapi dunia perlu lebih banyak lagi orang baik. 


Reading Time:

Senin, Oktober 04, 2021

Lo Sirik Gue Tambah Baik
Oktober 04, 20210 Comments

Kebaikan itu seperti pesawat terbang. Jendela-jendela bergetar, layar teve bergoyang, telepon genggam terinduksi saat pesawat itu lewat. Kebaikan merambat tanpa mengenal batas. Bagai garpu tala yang beresonansi, kebaikan menyebar dengan cepat. Tere Liye (Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin)


Sebetulnya, pernyataan yang aku buat judul "Lo Sirik Gue Tambah Baik" kutemukan dari tulisan Truk yang lewat beberapa waktu lalu. Lagi-lagi, truk memang sering sih jadi inspirasiku dalam hidup. Hahaha.. bahkan memang tulisan yang ada di badan atau ekor truk seringkali viral di sosial media.

Lantas, kenapa ya langsung membuat aku berpikir.? Bisa jadi karena pernyataan tersebut hampir mirip dengan buku yang sedang aku baca kala itu, dan aku sudah menyelesaikannya tentu. Judulnya "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" karya Tere Liye. 

Sudah lama aku menjadi penikmat buku-buku karya Tere Liye. Selain bahasanya yang mudah dipahami namun tetap sopan, dan memegang kaidah bahasa tentunya, ceritanya unik dan selalu membuat ketagihan. 

Kalau sedang mencari novel berjenis romansa, buku ini sepertinya cocok deh. Alurnya yang maju-mundur terkesan rapi dan mudah dipahami. Saat membaca pun kita ikut merasakan emosi yang dimiliki oleh Tania, tokoh utama. Tentang perasaannya kepada malaikatnya, Kak Danar, tentang paradoks yang dialaminya, tentang persahabatannya, dan semua hal yang penulis suguhkan, serasa menjadi bagian dalam diri. 

Hinga pada akhir cerita, perasaanku ikut sedih, ikut menangisi kejadian yang membuat Tania memiliki puncak rasanya, bahkan ketika tidak digambarkan bahwa Kak Danar mengungkapkan perasaannya secara tersurat, aku tahu benar perasaan keduanya dari awal.

Beragam jenis kejadian yang dialami para tokoh menggerus emosi. Rasa cinta yang berharga, bahkan ketika kita tidak memintanya, tiba-tiba ada. Namun, ketika semua itu tidak seperti yang diimpikan, ditinggal pergi oleh orang terkasih, tidak dapat memiliki apa yang dicintai. 

Tapi, seperti judulnya, bahwa seperti daun itu ketika jatuh, tak ada yang perlu disesali. Tak ada yang perlu ditakuti. Biarkan dia jatuh sebagaimana mestinya. Biarkan angin merengkuhnya, membawanya pergi entah ke mana. (Hal 197)

Bahwa hidup harus menerima.. Bahwa hidup harus mengerti.. Bahwa hidup harus memahami.. Tak peduli lewat apa, penerimaan, pengertian, dan pemahaman itu datang. Tak masalah meski lewat kejadian yang sedih dan menyakitkan. 

Bahwa, kadang kejahatan tidak lebih baik dibalas dengan kejahatan lagi. 














 

Reading Time:

@way2themes