Lebih dari Sekedar Emansipasi Wanita - heartkokok

Jumat, Juli 24, 2015

Lebih dari Sekedar Emansipasi Wanita

Ungaran, 23 Juli 2015


Sebelum tahun 2000-an merupakan tahun yang sangat berat bagi perempuan Indonesia. Dahulu mereka diharuskan tidak terlalu banyak bekerja dan pergi dari luar rumah. Mereka seakan di-design untuk menjadi pendamping pria yang selalu taat kepadanya. Seorang gadis yang menginjak umur 16 tahun sudah dikatakan dewasa dan siap untuk dijodohkan. Jikalau sudah menginjak 23 mereka akan dianggap sebagai perawan tua dan apabila tetap sendiri akan tidak baik bagi kehidupannya. 
Pada umumnya, seorang wanita akan diam di rumah mengerjakan pekerjaan rumah sekaligus merawat anak-anaknya. Sedangkan bagi kamu pria, mereka harus menafkahi anak istrinya dengan bekerja keras. Setelah pulang, maka istrinya akan menjamunya. Begitu seterusnya.
Akan tetapi sekarang telah berganti era. Alih-alih karena berlandaskan emansipasi wanita, jadi semua pria tidak terlalu memperdulikan kelemahan yang memang dimiliki wanita. Simple-nya kalau sekarang seorang remaja sedang marah seolah-olah mereka sedang mengalami pms, padahal hal itu tidak selamanya benar.
Beranjak ke hal yang lebih kompleks lagi. Berhubung di daerah saya merupakan daerah industri, terutama industri garmen. Saya akan bercerita tentang kehidupan yang ada di daerah saya.
Dahulu memang benar kalau wanita wajib melakukan pekerjaan rumah dan tidak boleh berada jauh dari luar rumah. Seiring berjalannya waktu, hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Para pemuda baik pria ataupun wanita tetap menimba ilmu sampai luar daerah bahkan bisa sampai ke luar negeri. Akan tetapi, banyak pelajar dari berbagai bidang ilmu memutuskan untuk bekerja sebagai buruh di pabrik. Karena lokasi yang dekat dengan industri seperti garmen, minuman kemasan dan tekstil menjadikan mereka lebih memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarga mereka daripada melanjutkan sekolah yang malah mengeluarkan biaya.
Sebagai contoh, tetanggaku yang pada awalnya bersekolah di salah satu SMK ternama di sini dengan jurusan teknik komputer dan jaringan memilih bekerja ke pabrik garmen sebagai buruh cutting, pemotongan kain daripada memilih pekerjaan sebagi teknsi komputer atau sebagainya. Hal terebut sudah tidak jarang ditemukan mengingat industri yang semakin meningkat jumlahnya.
Mirisnya, kebanyakan dari perusahaan tersebut lebih membuka lapangan pekerjaan untuk perempuan daripada laki-laki, yang dahulu katanya sebagai pencari nafkah. Alhasil, dengan pekerjaan yang mudah bagi perempuan, kaum pria yang kebanyakan bekerja sebagai petani, buruh bangunan, dan pekerjaan serabutan lainnnya lebih mengandalkan gaji istri untuk menghidupi kehidupan mereka.
Dan sekarang, banyak kaum pria yang tinggal di rumah untuk mengasuh anak mereka dan kaum istri yang bekerja di pabrik. Setelah pulang dari kerja, kaum perempuan tetap harus patuh terhadap suaminya, seperti membuatkan kopi, menyetrika, mencuci baju, dan pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjaan oleh suami.
Sebagai umat manusia yang peduli akan perempuan, apakah kalian tega membiarkan keadaan ini terus berjalan demikian?
Keadaan yang saya ceritakan mungkin masih tergambar dalam situasi yang masih normal, namun kenyataan bisa saja berkata lain. Seorang isri yang sudah bekerja keras masih saja tersakiti oleh laki-laki. Padahal kita ini tetap memiliki keterbatasan sebagai seorang wanita yang tidak dimengerti oleh kaum pria. Kita ini tidak memiliki kewajiban seperti pria yang seharusnya mengayomi keluarga. Masihkah kita pantas untuk disakiti?



Saya ingin mendegear suara anda/?

Tidak ada komentar:

A word from you is a gift for me...

@way2themes