Contoh cerpen bahasa Indonesia dan sedikit English/ An example of short story in Bahasa Indonesia and little bit combination with English
(Edited)
I
Rumah beroles biru telur bebek dengan sepetak halaman ini merupakan tempatku dan keluarga merajut tali kasih . Terdapat sebuah pohon mangga yang membuatku sering berharap-harap cemas. Entah kenapa saat pergantian semester bunga di pohon tersebut merekah dan menunggu untuk berbuah atau mungkin tidak akan berbuah.
Setelah penantian lama menunggu hasil ujian, inilah saatnya . Seperti penantian yang sama, barisan nilai hasil perjuanganku tak ada fantastiknya , rata bagaikan jalan yang beraspal. Semua hampir rata KKM. Namun ibu selalu berkata,” Hidup merupakan kombinasi empat komponen, yaitu ikhlas , kerja keras, doa dan tawakal.
“Please pay attention to me. This chapter will going to be used in the mid semester. You have to understand this one, okay?”
“Yes, mis.”
Suara Ms Manda yang memekik tajam berputar di telinga kami. Aku tak tahu apa yang Mis Manda ajarkan. Entah itu tentang manusia purba dan peninggalan budayanya atau batu-batuan dengan nama yang aneh.
Dari kejauhan, tampak si profesor...
mendekat kepadaku yang sedang bersandar di kursi pojok taman halaman sekolah. Memulai obrolannya sembari meneguk tetesan terakhir Pulpy Orange.
“What happen with you, chika. Are you OK?”
“He, you! Kenapa kamu datang kemari membawa sisa minuman yang tinggal setetes? Bikin orang ngiler aja. Lagian kamu kan habis jalan- jalan ke Surabaya. Mana oleh-olehnya?“
“Soal oleh-oleh gampang , kamu minta apa tinggal sebutin saja!“
Sambil mengerutkan dahi dan memonyongkan bibir, aku menjawab, “Aku lagi bad mood, nih. Makasih !”
“Memangnya ada masalah apa? Muka udah jelek ditambahin, jadi tambah jelek!”
“Enak aja. Ini,nih, aku sebel sama nilai semesterku yang rata, seperti jalan beraspal tanpa ada tanjakan ataupun turunan.”
“Kan itu sudah lama, Neng. Lagian bagus dong kamu gak ada remidi.“
“Memang sih nggak remidi, tapi masalahnya rata semua.”
“Udahlah, mungkin kamu cuman butuh proses untuk beradaptasi aja. Soalnya kita juga kan baru kelas satu yang masih butuh penyesuaian.
“Mau sampai kapan aku begini. Apalagi 2 minggu lagi udah mid semester. Padahal kayaknya,ya baru seminggu kita di semester 2. Udah ada aja itu tes?”
“Makanya kamu jangan sering ngeluh, berusaha donk! Sekarang kamu masih punya waktu dua minggu lagi,kan? Nah, manfaatkan kesempatan itu mulai detik ini!“
“Tapi caranya gimana? Aku aja udah ketinggalan selama ini.“
“Tidak usahlah kamu menyerah begitu. Kamu bisa lihat catatanku. Setiap hari pintu rumahku terbuka untukmu. kurang baik apa Profesor Rofi?“
Dengan nada sok jual mahal dan senyum tipis dari mulutnya, Rofi menawarkan kepadaku, “Mau nggak, jarang-jarang lho ada orang seganteng aku mau...“
Aku membunyikan peluit panjang pemberhenti bicaranya yang semakin ngelantur. “Ok..ok... ok. Siap professor!”
Dengan gaya layaknya seorang professor mulailah dia membuka suara, “Okelah kalau begitu. Pertemuan penting akan dimulai esok hari, pada saat jam istirahat, setelah solat dan tak lupa setelah pulang sekolah.“
“Professor, kenapa meeting-nya sering sekali. Apa professor juga nggak mau istirahat?“
“Eits...nggak ada kata istirahat ataupun jajan. Kamu harus belajar yang sungguh-sungguh. Mengerti?“
Dengan terbata-bata aku menjawab, “Siap pelatih, ups...Siap professor!” Sejak hari itu, kami sering belajar bersama. Tentunya yang lebih tepat dapat dikatakan ‘’Belajar kilat bersama professor Rofi.” Selama seminggu lebih belajar bersamanya, ternyata formula yang dia berikan sangat berkhasiat. Campuran dari bumbu-bumbu rahasia disertai sedikit penyedap rasa membuat otakku sedikit lebih encer. Cara mengajarnya yang menyenangkan membuatku seperti tanah daerah tropis saat menyerap air dan kecap yang meresap sampai ke dalam-dalam.
“Sejak hari itu, kami sering belajar bersama. Tentunya yang lebih tepat dapat dikatakan ''Belajar kilat bersama professor Rofi.” Selama seminggu lebih belajar bersamanya, ternyata formula yang dia berikan sangat berkhasiat. Campuran dari bumbu-bumbu rahasia disertai sedikit penyedap rasamembuat otakku sedikit lebih encer. Cara mengajarnya yang menyenangkan membuatku seperti tanah daerah tropis saat menyerap air dan kecap yang meresap sampai ke dalam-dalam.
II
Pintu itu terbuka oleh derai angin yang mendesah. Sayup-sayup ku dengar kelelawar dan tikus mondar-mandir di atap rumah. Getaran yang berasal dari kuda Putri Eliana menghadapi para perwira menghentikan bayang-bayangku akan perbincangan tadi bersama Rofi. Bagaimana kalau aku sebagai Putri Eliana dan rofi sebagai pangerannya. Pasti dunia ini terasa lebih segar . Raja dan Ratunya yang suka sekali tertawa, semua rakyat bahagia, Indahnya....Semakin lama semakin ngelantur. Kalau yang jadinya ratu aku dan dia rajanya, pasti akan gempar bumi ini.
Waktunya untuk tidur. Kutapaki kaki menuju pesinggahan nan empuk dan nyaman. Bersiap menyelami dalamnya samudra impian. Saat kumulai membaca buku, melayang-layang sebuah foto. Aku terpaku, diam sesaat . Mencoba untuk menelaah siapa gerangan yang menjadi model di foto ini. Serasa pernah bertemu orang ini namun dalam bentuk lain. Mungkinkah ini teman kecilku? Lantas siapa lelaki yang berada di sampingnya ini? Namun angin apa penyebab foto ini mendarat di kamar ku. Kupandangi foto itu sampai akhirnya terbawa tidur.
Belum juga merasakan mimpi memakan buah mangga yang manis.Ternyata tak kusangka mentari mulai menyingsing , membuat bayangan ke arah barat. Semerbak tempe goreng dicampur dengan terasi dan cabai membuatku terasa diundang untuk segera bergegas ke dapur. Memang nikmat, bangun pagi sudah disediakan menu sarapan khas ibunda. Kumulai mencolekkan tempe goreng ke sambal terasi yang merona. Tiba-tiba panggilan datang , dan ..”Nduk, kamu itu bangun-bangun sudah ke dapur? Memangnya kamu sudah cuci muka atau mungkin, kamu juga belum sholat subuh,ya ?”
Sambil menelan tempe beroleskan sambal ke mulutku, aku mencoba menjawab pertanyaan ibuku. “ ehm..ehem..bell...lum, Bu.”
“Ayo cepat, kerjakan dulu! Solat subuh kok jam segini?”
“Ya, Bu.”
Setelah melakukan semua aktifitas pagiku, dan solat subuh yang terlambat, aku bersiap untuk pergi ke sekolah. Bergegas ku tancap gas di kakiku ini untuk naik ke angkot yang mengangkutku ke sekolah. Pemberhentian selanjutnya berada di gang depan pusat sekolah, Sekolah Makmur Jaya. Jadi inget lagu “ ...pusaka abadi nan jaya”.
Bayangan yang sedari tadi mengusikku dari awal naik angkot kini muncul kembali. Tak usah lagi bersembunyi. Aku akan mengeluarkan jurus andalan mata-mata yang kemarin aku pelajari dalam komik “Detektif Conan“. Penelusuran akan segera dilakukan . Aku akan kenakan jubah sakti dilengkapi sebilah pedang atau bila perlu membawa kalung bawang. Sepertinya di sebelah sana ada yang mencurigakan. Aku akan menapaki jalan kecil samping sekolah. Setelah ku susuri ternyata hanya ada induk kucing bersama anak-anaknya. Yah, ternyata perasaanku salah.
Setiba di kelas aku ingin langsung belajar. Biarkanlah orang yang membuntutiku tadi , aku tak peduli. Sekian lama kutunggu Pak Prof tapi tak kelihatan juga batang hidungnya. Suasana belajar jadi sunyi karena tidak ada lagi suara abang penjual kerupuk. Setiap kali Rofi mencoba melucu, pasti semuanya jadi garing, krik...krik....seperti kerupuk itu. Tapi walaupun begitu, setelah professor itu mengajariku, semua ulangan bisa aku babat habis.
Sepertinya jurus detektif payah seperti tadi tak akan mampu mencari bapak profesor. Aku harus berkunjung ke rumahnya. Siapa tahu kalau bapak profesor sakit, atau jangan-jangan tak mampu lagi mengajariku. Pembabakan berikutnya siap dimulai. Aku akan menuju rumah professor. Seperti tadi pagi, aku merasakan bahwa ada seseorang mengikutiku. Mungkin ini semua hanya ilusi belaka. Aku terlalu khawatir akan keadaan professor.
“Assalamualaikum....Rofi...“
Munculah seorang wanita paruh baya menemuiku. “Adik mau mencari Rofi?“
“Ya, Bu. Apakah Rofi ada?“
“Sebelumnya, adik ini temennya Rofi, bukan?“
“Saya Chika temennya Rofi, Bu. Bisa bicara dengan Rofi, Bu?”
“Tunggu sebentar, ya Dik. Mari duduk dulu!”
“Oh, iya,Bu. Terimakasih.“
Terlihat rumah berarsitektur Jawa-Sumatra ini menyimbolkan kedua orangtua Rofi yang berasal dari Jogja dan Palembang. Tampak terpampang foto keluarga Rofi menempel di dinding ruang tamu. Terlihat sosok bocah laki-laki yang mirip dengannya. Setelah kutelusuri lebih dekat dan dekat, ternyata tak cuma satu foto ini. Terdapat pula anak laki- laki tersenyum manis dengan membawa sebuah bola merangkul Rofi. Semua ini membuatku menjadi penasaran. Selama ini aku tak melihat kalau Rofi memiliki saudara laki-laki. Foto itu terus membuatku semakin berpikir dan terus berpikir. Sepertinya aku pernah melihat foto ini sebelumnya.
Kubuka tasku yang berdiam di pojok meja . Kuambil sebuah foto yang tersembunyi di antara buku-buku pelajaran. Ternyata, dan mungkin memang benar. Sosok yang berada di foto itu memang benar yang ada di sini.
Tiba- tiba keluarlah ibu paruh baya dengan secangkir teh dan setoples biskuit coklat hendak menghampiriku.
“Sini diminum dulu, biar tidak keburu dingin!‘‘
“Rofinya tidak ada ,ya , Bu?“
Seperti memikirkan kalimat yang pas, ibu itu menjawab, ‘‘kemarin Dek Rofi pergi bersama ibunya ke luar kota. Mungkin hari Minggu baru bisa pulang.“
“Kira-kira pulangnya kapan,ya, Bu?”
“Kurang tahu, mungkin Minggu juga sudah pulang.”
Suguhan biskuit cokelat dan teh hangat menjadi teman bincang-bincang kami. Kumulai menggigit biskuit itu. Rasa cokelatnya meleleh di lidah. Keharuman tehnya membuat Dewi Bulan turun ke bumi. Sembari meneguk teh hangat aku mencoba bertanya pada Ibu, ‘‘Bu, boleh nanya tidak. Foto yang di sebelah Rofi itu saudaranya, ya?“
“Oh, foto itu. Oh, itu namanya Dek Rendi. Dek Rendi dulu yang ibu asuh dari kecil.“
“Maksudnya apa, Bu?Bukanya dia tidak ada di sini. Lalu apa ibu juga mengasuh Rofi ?“ Tanyakau semakin penasaran.
“Begini ceritanya...“ dengan posisi menghadap di depanku, Ibu ini meneruskan penjelasannya, “Nah, waktu mereka berdua kecil, orang tua mereka baik-baik saja. Tetapi, saat keduanya menginjak 3 tahun, ibu dan bapaknya bercerai. Rofi tinggal bersama bapaknya di Semarang, dan Rendi di sini bersama ibunya . Rumah yang sekarang ini, dulunya berada di sekitar jalan Pagelaran Timur. Dalam hati aku berpikir, apa aku tahu anak ini? Apakah aku pernah kenal dan sering bermain saat kecil? Bukankah itu alamat rumahku?
‘‘Nah, saat usianya menginjak 8 tahun, bapaknya Rofi memberikannya pada ibunya dan membawa Rendi bersamanya.“
“Kenapa bisa demikian, Bu?“
“Setahu saya Rofi itu memiliki penyakit yang mungkin, karena bapaknya sibuk bekerja sehingga bapaknya memilih untuk memberikan Rofi kepada ibunya. Tunggu sebentar ya, Dek, Ibu mau menunjukkan sesuatu.“
Suasana di sini semakin tambah aneh. Beberapa menit kemudian ibu itu datang membawa sekotak tempat permainan anak-anak.
“Nah, ini, Dek. Ibu menemukannya saat beres-beres di kamar Den Rofi. Sebelumnya karena bentuknya yang sudah lusuh, ibu ingin membuangnya. Tapi setelah melihat gambar dan tulisan ini , ibu tidak jadi membuangya.“
“Bukankah ini Cuma gambar dua buah mangga, Bu?“
“Tetapi, gambar ini kalau ibu lihat , bukan hanya sekedar gambar dua buah mangga yang masak. Dan hal itu terbukti setelah ibu membaca sekilas isi kertas kecil di dalamnya.“
‘‘Mangga manis. Rofi dan Rendi bagaikan dua buah mangga yang sangat manis. Walaupun kami jarang bertemu, tapi kami tetap menghargai. Kami tidak akan saling menyakiti. Mungkin setelah aku pergi dari sini, bidadari chika akan kutitipkan kepada Dek Rofi.”
“Bu, Chika di sini itu bukan aku, kan?“
“Ibu juga kurang tahu, Chika itu siapa , tapi ada sebuah kalung dari rerumputan yang hanya sebelah.” Ibu itu membuka kotak itu, ” Ini dia,Dek.”
Aku tidak percaya dengan semua ini. Ini kalung pemberian Rendi kecil saat kami memainkan raja dan ratu. Berarti dulu anak laki-laki yang sering bermain denganku adalah Rendi, saudara Rofi. Dan sekarang aku berteman dengan Rofi. Mereka berdua adalah sebuah pelangi bagiku. Walaupun mereka berbeda satu sama lain, tapi pancaran kebaikan yang mereka berikan kepadaku begitu indah hingga mengenang selalu di hatiku.Dulu Rendy yang menemaniku bermain. Aku ingat saat pertama kali aku mengenalnya , saat aku masih sering manja sama Ibu. Masih imut dan lucu.
Aku akan membiarkan ini semua berjalan seperti biasanya. Biarlah cerita ini berakhir atau berlanjut. Apabila masih tersisa koma di hidupku berarti akan terus berlanjut. Apabila titik yang menyelimuti hidupku, maka itu semua berarti hidupku telah berakhir. Ceritaku mungkin hanya sampai di sini.